SabID

Kehilangan Figur Ayah Membuat Pria Sulit Jatuh Cinta




Dalam kehidupan ini sangat banyak pengalaman-pengalaman menarik yang dapat kita pungut dari lingkungan untuk menjadi pengalaman yang positif bagi kita (sebagai suri teladan dalam kehidupan). Persis seperti yang diungkakan oleh pribahasa populer yang berbunyi “experience is the best teacher”, pengalaman adalah guru yang terbaik dan “alam takambang jadi guru”. Paparan tulisan berikut adalah pengalaman seorang teman yang dituturkan kepada penulis tentang kesulitannya dalam jatuh cinta dan ia ketakukan kalau menjadi seorang “Gay”. Namun ia melakukan proses kreatif dan self-therapy untuk menyembuhkan problemnya. Ia menyadari bahwa kesulitan psikologisnya terjadi karena ia sempat kehilangan figur ayah dalam hidupnya.

Pencarian figur (tokoh idola dalam hidup) mulai terjadi sejak awal kehidupan setiap orang, dan mencampai puncak identifikasi (mencari identitas diri) pada masa remaja- keseluruhan masa ini dapat juga disebut dengan “golden age”. Anak laki-laki menjadikan ayah sebagai tokoh idola, sebagai teman bermain dan ibu tempat bermanja-manja. Sebaliknya bagi anak perempuan tentu saja menjadikan ibu sebagai tokoh idola dan figur ayah tempat bermanja-manja. Makanya terlihat bahwa anak laki-laki gemar meniru prilaku ayah (meniru gaya berbicara ayah dan cara-cara yang lain) dan anak perempuan meniru prilaku ibu- mereka bermain peran sambil meniru bagaimana sang ibu marah atau menggoda bayi.

Andai figur ayah atau figur ibu sempat hilang atau susah untuk diperoleh maka figur tokoh pengganti juga bisa mengganti posisinya. Kehadiran kakek, paman dan famili laki-laki dewasa juga bisa menjadi sumber identifikasi bagi anak laki-laki. Kemudian, kehadiran figur nenek, tante dan famili perempuan yang telah dewasa juga bisa menggantikan figur ibu yang hilang.

Read More......

Guru dan Bimbel Jangan Memberikan Cita-cita Yang Salah Pada Siswa



Guru dan Bimbel Jangan Memberikan Cita-cita Yang Salah Pada Siswa
Oleh : Marjohan, M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar

Sekolah dan pendidikan itu sangat penting. Umumnya orang telah menyadari perananan dan manfaat pendidikan. Sehingga tiap tahun orang tua memilihkan pendidikan dan sekolah yang terbaik buat anak mereka. Namun sikap sebahagian orang tua, begitu anak memperoleh sekolah idaman mereka berlepas tangan dan menyerahkan urusan pendidikan pada sekolah. Paradigma ini tentu saja tidak tepat dan harus segera diobah.

Karena sikap sebahagian orang tua yang menyerahkan urusan pendidikan anak pada guru dan mereka hanya mendorong anak untuk belajar keras. Begitu anak bekerja dan belajar keras hanya untuk meraih keberhasilan akademik namun lupa untuk memupuk semangat entrepreneurship (kewirausahaan) maka sering kekecewaanlah yang mereka peroleh. Sering dijumpai bahwa anak-anak yang cuma hanya rajin dalam belajar, tetapi memiliki wawasan dan keterampilan hidup (life skill) yang terbatas, maka setelah belajar selama bertahun-tahun di SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi maka pintar mereka cuma sebatas menulis lamaran pekerjaan kalau gagal, ya harus menjadi penganggur.

Memang itulah realita kehidupan sekarang. Menanamkan semangat entrepreneurship (melakukan kegiatan berwirausaha) untuk anak didik belum begitu jadi prioritas, yang jadi prioritas adalah melatih anak didik agar lulus Ujian Nasional dengan skor yang tinggi. Namun orang orang yang sukses pada mulanya juga merasakan hal yang demikian. Pekerjaan (cita-cita) yang diperkenalkan di sekolah cuma pekerjaan yang bersifat formal seperti menjadi dokter, polisi, PNS, BUMN, pegawai swasta, tetapi jarang yang mengajak anak didik untuk menjadi pionir sebuah wirausaha baru.

Anak didik umumnya sangat percaya tentang karir (cita-cita) yang dipilihkan oleh guru di sekolah atau karir yang disodorkan oleh instruktur lembaga bimbel (Bimbingan Belajar). “Wah passing grademu belum cukup, masuk sajalah ke fakultas hukum”, demikian anjuran instruktur Bimbel. Ini bisa jadi suatu salah kaprah.

Read More......